Jumat, 03 September 2010

Mahasiswa Demam Pulang Kampung

Cintiawati

Di kala teman-teman mahasiswa bahasa Indonesia sedang sibuk bercerita di teras depan gedung C1, sambil menunggu dosen mata kuliah sastra daerah, saya mendengar mereka saling bertanya satu sama lain, “kapan pulang kampung?”. Pertanyaan itu membuat saya tertarik untuk mengetahui lebih jauh bagaimana kepedulian para mahasiswa untuk segera pulang kampung.
Pagi itu, tepatnya hari kamis, 26 Agustus 2010. Hari lebaran masih sekitar 2 minggu lagi. Tetapi sebagian mahasiswa sudah dilanda demam panas. Bukan demam panas yang biasa dirasakan oleh orang-orang sakit, melainkan merasa panas di dalam hati karena SK Rektor tentang penetapan hari libur lebaran belum jelas hingga saat ini.
“Kapan pulang kampung?” merupakan pertanyaan yang tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Tiap kali mahasiswa bertemu dengan mahasiswa lainnya pasti menanyakan hal itu bahkan menjadi bahan diskusi yang sedang hangat diperbincangkan. Tidak hanya mahasiswa, dosen pun yang berasal dari luar kota Kendari saling bertanya kapan akan pulang kampung.
Melihat kondisi carut-marut pemikiran mahasiswa akibat libur lebaran belum jelas, saya mencoba melakukan wawancara kepada beberapa mahasiswa yang latar belakang daerahnya berada diluar kota kendari. Saya hanya terfokus, menanyakan tentang pendapat mereka tentang SK Rektor yang belum keluar dan kaitannya dengan keinginan mereka untuk segera pulang kampung.
Dalam menggali informasi lebih jauh dari para mahasiswa tersebut, saya tidak memperlihatkan bahwa saya sedang melakukan wawancara. Tetapi seakan-akan hanya sekedar ingin tahu saja bagaimana perasaan mereka saat ini. Saya memilih mendekati salah satu kelompok yang sedang asik berdiskusi tentang liburan. Salah satu faktor  saya memilih kelompok diskusi yang beranggotakan 3 orang yakni La Ode Haris Idris, Dewi Purwati dan Amanah adalah mereka berasal dari daerah yang berbeda. Sehingga menurut saya informasi yang ada akan berbeda.
Akan tetapi dugaan saya meleset dan ternyata dari  3 narasumber yang ada, semua menyatakan kekesalannya yang sama dengan bebagai macam pertimbangan. Yang menjadi kekesalan mereka adalah ingin segera pulang kampung tetapi masih tertahan oleh kuliah yang masih berjalan dan ini disebabkan oleh SK Rektor yang belum jelas keluarnya kapan.
Ada pendapat yang menurut saya cukup menggelitik pikiran mahasiswa yang cukup terkena demam Pulkam, yaitu La Ode Haris Idris yang akrab dipanggil “Aga” yang juga salah satu sahabat saya. Dia mengatakan bahwa “biasa saja! kalau masalah pulang kampung, mau pulang lebih awal ataupun nanti satu hari sebelum lebaran tidak masalah. Tetapi kita perlu tahu esensi kita datang disini adalah untuk kuliah. Percuma kan pulang lebih awal tapi mata kuliah masih ada. Orang tua juga menginginkan kita untuk cepat pulang, tetapi mereka juga pasti mengerti karena kita adalah mahasiswa”.
Namun alangkah lucunya ketika saya menanyakan kapan Aga akan pulang, jawabannya tidak sesuai dengan pertanyaan di atas yang lebih menekankan kuliah. Dan ternyata Aga sudah merencanakan pulang kampung 8  hari sebelum hari H. mendengar jawaban itu saya dan kedua narasumber menertawai sahabat saya yang satu ini yang selalu tidak konsisten dengan pernyataannya.
Waktu terus berjalan, dan dosen mata kuliah Sastra Daerah juga belum datang. Sehingga menambah waktu saya untuk lebih lama berbincang-bincang dengan mereka. Saya kembali memberi  kesempatan kepada Dewi untuk mengeluarkan pendapatnya. Dewi, dengan sikap yang belum terlalu akrab dengan kami, karena dia adalah mahasiswa integrasi dari pendidikan kimia. Maka suaranya agak kecil dan mungkin 2 orang narasumber yang lain tidak terlalu memperhatikannya. Ditambah lagi mereka lebih asyik berbicara sendiri. Pada saat Dewi berkomentar hanya saya yang memperhatikannya. Menurut Dewi, dia sangat kesal dengan ketidakpastian kapan libur lebaran. Disamping orang tuanya yang sudah mendesak agar dia cepat pulang dan masih ada kesempatan untuk menjalankan ibadah puasa bersama keluarga. Kepadatan mudik juga yang harus dipertimbangkan. Jika benar isu-isu libur 2 hari sebelum lebaran dan 2 hari setelah lebaran, itu adalah waktu yang sangat singkat. Terlebih lagi mahasiswa yang daerah asalnya menempuh perjalanan selama 1 hari, dan masih untung bisa dapat tiket kapal. Jadi harapannya dosen-dosen yang masih aktif mengajar bisa memberi kebijakan kepada mahasiswa.
Pernyataan Dewi sangat mencerminkan bahwa dia sangat ingin pulang kampung lebih cepat. Dia bahkan menginginkan libur lebaran selam 10 hari. Secara spontan Amanah menyetujui pendapat Dewi, dan tanpa saya bertanya tentang pendapatnya terkait masalah ini, Amanah langsung berkomentar, “iya, saya sangat setuju jika libur lebaran dipercepat. Kampung saya bisa dikatakan dekat, mungkin bisa ditempuh selama 2 jam, tetapi kasian bagi teman-teman yang harus berjam-jam bahkan 1 hari perjalanan. Belum lagi orang tua yang menginginkan agar kita bisa menjalankan puasa bersama lebih lama”.
Ketika Amanah masih mau melanjutkan pembicaraanya, waktu kuliah agama sudah tiba dan dosen sudah ada. Dengan sendirinya percakapan kami terhenti. Tetapi saya juga sudah merasa cukup dengan komentar-komentar yang diberikan oleh mereka bertiga. Dari beberapa komentar saya menyimpulkan bahwa sebagian mahasiswa yang berada di luar kota kendari sangat menginginkan agar SK Rektor bisa secepatnya keluar sehingga ada kepastian kapan mereka akan pulang kampung, dan jika SK itu keluar harapannya waktu liburan bisa lebih awal sebelum lebaran.
Suasan teras C1 yang tadinya ramai dengan suara-suara  mhasiswa yang sibuk dengan ceritanya masing-masing, kini sepi. Semua sudah masuk ruangan untuk mengikuti mata kuliah agama. Cuaca hari ini agak mendung. Hanya ada satu dua kicauan burung gereja yang kerap kali terbang melewati pentilasi ruangan C1. Kami pun khusuk menerima materi.